Kamis, 05 April 2012

BAB 2 (1.)

1. HUKUM PERIKATAN

A. PENGERTIAN HUKUM PERIKATAN

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakaidalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orangyang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi,meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan,letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yangmengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undangatau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yangterjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukumharta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).


B. DASAR HUKUM PERIKATAN

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.

1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).

2. Perikatan yang timbul undang-undang.

Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)

a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata

.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.

b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia

3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).


C. AZAS-AZAS HUKUM PERIKATAN

Disamping kelima asas yang telah diuraikan diatas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17–19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional.[1] Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :


1)      Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.


2)      Asas Persamaan Hukum

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.


3)      Asas Kesimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.


4)      Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.


5)      Asas Moralitas

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.


6)      Asas Kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.


7)      Asas Kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.


8)      Asas Perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.


D. HAPUSNYA PERIKATAN

HAPUSNYA PERIKATAN pasal 1381:

1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Pembaharuan utang
4. Perjumpaan utang atau kompensasi
5. Percampuran utang
6. Pembebasan utang
7. Musnahnya barang yang terutang
8. Kebatalan atau pembatalan
9. Berlakunya suatu syarat batal
10. Lewatnya waktu.


1. Pembayaran
Setiap pemenuhan prestasi yang dilakukan secara sukarela
Pengertian pembayaran dalam arti sempit: dilakukan oleh debitur, pembeli, penyewa, penjamin
Dalam arti luas: prestasi yang harus dilakukan oleh penjual (penyerahan barang)

Dalam pasal 1382 BW diatur bahwa yang berhak melakukan pembayaran adalah pihak ketiga yang tidak berkepentingan (penanggung, penjamin) yang:
    - Bertindak atas nama debitur dan melunasi hutang debitur
    - Bertindak atas namanya sendiri dan tidak menggantikan kedudukan kreditur (pemberian sukarela)
Dalam hal ini pihak ketiga jenis ini tidak berlaku dalam perikatan untuk berbuat sesuatu hal

Perjanjian untuk melakukan sesuatu tidak bisa dialihkan kepada orang lain:
1. Suatu pembayaran dianggap sah apabila dilakukan untuk pemilik dari barang yang dibeli (oleh pembeli) dan berkuasa untuk memindahtangankannya
2. Dilakukan dengan itikad baik kepada pemegang surat piutang yang bersangkutan
3. Pembayaran dianggap sah apabila kreditur sungguh-sungguh mendapat manfaat dari pembayaran tsb meskipun kreditur tsb tidak jahat.
4. Pembayaran harus diberikan :
    - oleh kreditur
    - kuasa dari kreditur
    - kepada orang yang ditunjuk oleh hakim atau UU untuk menerima pembayaran
    - Bukan kuasa dari kreditur tetapi kreditur telah menyetujuinya atau kreditur nyata-nyata mendapat manfaat darinya. Mis: kasir, tukang tagih
5. Pembayaran tidak boleh dilakukan sebagian-sebagian jika masing-masing pihak, hanya ada seorang debitur atau seseorang kreditur tetapi pada kenyataannya ada yang melakukan pembayaran sebagian-sebagian
6. Tempat pembayaran dilakukan di tempat yang sudah diperjanjikan tetapi jika tidak ditentukan tempatnya maka salah satu tempat yang dipilih:
    a. Tempat dimana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat
    b. Tempat tinggal kreditur sewaktu perjanjian dibuat
    c. Tempat tinggal debitur, hanya untuk utang wesel.
7. Biaya untuk menyelenggarakan pembayaran dipikul oleh debitur (1395 BW) (aturan pelengkap).
8. Dalam pembayaran secara berkala (cicil) dikenal (digunakan persangkaan menurut UU) apabila bukti pembayaran 3 kali angsuran berturut-turut kalau dapat dibuktikan telah dilakukan maka oleh Uu disimpulkan bahwa angsuran-angsuran sebelumnya sudah terbayarkan seluruhnya. Mis:kuti januari, februari, maret ada tanda bukti maka dianggap sebelum bulan itu adalah lunas.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti penyimpanan/penitipan.
Apabila kreditur menolak untuk menerima pembayaran, dengan penitipan di pengadilan maka dianggap perjanjian berakhir, perikatan yang berlaku adalah perikatan untuk kepentingan umum.

3. Pembaharuan Utang ( Novasi ):
    a. Novasi objektif yaitu debitur membuat perikatan utang baru untuk mengganttikan utang lama, sehingga utang lama lunas/berakhir utang yang dibuat adalah 2 utang yang tidak sama jenis. Jika A(d) dan B(k) ada perjanjian jual beli secara cicil jika bulan depan tidak dibayar maka A(d) membayar jual beli dengan mengadakan perjanjian kredit dengan C (pihak ketiga)
    b. Novasi Subyektif yang diperbaharuhi adalah subyek-subyeek dalam perjanjian (debitur dan kreditur).          Novasi ini dibagi 2:
* Novasi subyektif aktif.
Kreditur baru ditunjuk menggantikan kreditur lama sehingga perikatan antara K lama
dan D lama diganti.
* Novasi subyektif pasif.
D baru ditunjuk untuk menggantikan D lama sehingga perikatan antara D. lama dan K
lama berakhir. Jaminan selalu merupakan peerjanjian pengikut (perjanjian Assecoir).

4. Perjumpaan utang/kompensasi intinya adalah penghapusan utang dengan cara memperhitungkan secara timbal balik antara debitur dan kreditur
Syaratnya:
    a. jumlah yang harus dibayarkan oleh para pihak diteetapkan sama besarnya
    b. utang/piutang tsb sudah bisa ditagih seketika (harus tenggat waktunya pembayaran utang sama  dengan tanggalnya).

5. Percampuran utang
Dalam kasus kedudukan kreditur dan debitur berada pada satu orang sehingga demi hukum atau oomatis terjadi suatu percampuran utang dan perikatan tsb dihapuskan . Jumlahnya tidak harus sama dan tenggat waktunya tidak harus sama.

6. Penghapusan utang/pembebasan
Kreditur dengan tegas tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran/pemenuhan perjanjian harus dibuktikan tidak boleh menggunakan persangkaan harus dinyatakan dengan tegas.

7. Musnahnya barang yang terutang (Objek perikatan)

Apabila obyek perikatan musnah, hilang , tidak dapat dipertahankan dan kesemuanya terjadi bukan akibat kelalaian debitur mengakibatkan terhapusnya perikatan. Maka masing-masing pihak akan menanggung kerugian , meskipun karena kelalaian debitur menyerahkan obyek perikatan maka jika debitur dapat membuktikan bahwa kelalian tsb terjadi di luar kekuasaannya atau berada di tangan kreditur maka debitur dibebaskan dari ganti rugi.





SUMBER:







Tidak ada komentar:

Posting Komentar