Selasa, 17 Mei 2011

Otonomi Daerah di Indonesia

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.    Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan
2.    Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)  dengan beberapa dasar pertimbangan:
1.  Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.  Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3.  Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.    Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2.    Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3.    Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju.


Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1.    Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2.    Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3.    Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4.    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5.    Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6.    Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7.    Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

                                                    
Pelaksanaan Otonomi daerah di masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1.    Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2.    Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3.    Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

Pelaksanaan Otonomi setalah masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
1.    melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2.    pembentukan negara federal; atau
3.    membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1.    Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2.    Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3.    Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.    Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5.    Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6.    Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7.    Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
8.    Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9.    Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.


Referensi
1.     UUD 1945 pasal 18 ayat 2
2.      UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kedua, Pasal 11
3.      Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
4.      UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf c
5.      UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf e
6.      UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf b
7.      UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf f
8.      UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf d
9.      UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 15(1) dan Pasal 16(1)
10.   UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 17
11.   UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 2, Pasal 22 dan Pasal 23
12.   UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 29
13.   UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 30
14.  Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
15.   UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III, Pasal 18(4)






Minggu, 08 Mei 2011

Tingkat Kemiskinan di Negara Myanmar dan Malaysia

TINGKAT KEMISKINAN DI NEGARA MYANMAR

Ekonomi yang Terbelakang adalah sebuah kenyataan bahwa ekonomi Myanmar masihlah sangat terbelakang. Dan setelah peristiwa 1988, yang kemudian diikuti dengan penolakan hasil pemilu 1990, kebanyakan bantuan dan investasi asing mengering. Pada tahun 2003, tekanan eko nomi asing menjadi semakin gencar setelah rejim militer ini menyerang konvoi Aung San Suu Kyi. Pemerintahan Amerika menjatuhkan embargo ekonomi terhadap Myanmar, yang semakin mengetatkan tekanan ekonomi.

Statistik ekonomi Myanmar tidak mudah didapatkan. Sejak tahun 1997, para jendral bahkan tidak mempublikasikan anggaran dasar negara yang formal, dan angka-angka yang mereka berikan tidak dapat dipercaya. Pada periode yang sama, angka-angka mengenai kesehatan, pendidikan, dll sangatlah langka. Tetapi, berdasarkan beberapa perkiraan, "rejim ini diperkirakan menggunakan 40% dari anggaran belanja mereka untuk pertahanan dan persenjataan", tetapi hanya membelanjakan kurang dari 1% GDP untuk kesehatan dan pendidikan.
Statistik-statistik yang tersedia menunjukkan kesengsaraan rakyat Myanmar yang sangat parah, dan juga rendahnya perkembangan ekonomi. Dari populasi yang mendekati 50 juta, ada 29 juta pekerja, tetapi 70% dari pekerja ini bekerja di pertanian. 50% GDP datang dari pertanian, dan hanya 15% datang dari industri. Dan pengangguran diperkirakan di atas 10% . GDP per kapita pada tahun 2006 adalah $1800.
Akan tetapi, statistik ini menyembunyikan distribusi kekayaan yang sesungguhnya. 10% populasi yang paling miskin hanya mengkonsumsi 2.8% dari kekayaan nasional, sedangkan 10% populasi yang terkaya mengkonsumsi 32.4% (statistik tahun 1998). Ini diperparah dengan tingkat inflasi yang semakin membengkak, yang sekarang di atas 20%. Ini menjelaskan mengapa 25% rakyat Myanmar hidup di bawah garis kemiskinan. Bahaya penyakit menular sangatlah tinggi, penyakit menular seperti diare, hepatitis, demam tipus, demam berdarah, dan malaria. Penyakit AIDS juga tinggi. Beberapa tahun yang lalu, usia harapan hidup adalah sekitar 62 tahun, tetapi sekarang usia harapan hidup diperkirakan jatuh di bawah 50 tahun. Ini merupakan indikasi memburuknya infrastruktur secara umum yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini.
Di dalam kondisi runtuhnya keadaan ekonomi dan sosial, masalah nasionalisme juga menjadi semakin buruk. Mayoritas populasi di Myanmar adalah orang Burma (sekitar 68%), tetapi sisanya terdiri dari etnik-etnik minoritas: Shans, Karens, Rakhines, Tionghoa, India, Mons, dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Ada banyak konflik, terutama di perbatasan timur, dan serangan ofensif dari rejim ini telah mengakibatkan banyak pengungsi, terutama dari etnik Karen, Karreni, Shan, Tavoyan, dan Mon.
Tingkat keruntuhan ekonomi Myanmar dan infrastrukturnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa perdagangan manusia sudah menjadi kontributor ekspor yang besar di negara ini, dimana lelaki, perempuan, dan anak-anak diseludupkan ke daerah Asia Timur dan Asia Tenggara sebagai objek eksploitasi seksual, pembantu rumah tangga, dan buruh paksa. Banyak imigran dari Myanmar yang dipaksa menjadi budak dan banyak wanita Myanmar yang dipaksa menjadi pelacur. Walaupun negara ini sangatlah kaya dengan sumber daya alam, ia telah menjadi produsen opium kedua terbesar di dunia. Terkutuklah opsir-opsir militer yang busuk ini, yang sibuk mengumpulkan kekayaan untuk diri mereka sendiri sedangkan jutaan rakyat Myanmar menderita di dalam kemiskinan yang pelik.



TINGKAT KEMISKINAN DI NEGARA MALAYSIA

Masalah kemiskinan sebenarnya bukanlah satu masalah baru. Kajian tentang kemiskinan telah dibuat sejak tahun 1800-an lagi. Antara yang terawal dan penting ialah yang telah dibuat oleh Rowntree (1901). Berdasarkan kepada kajian yang dijalankannya ke atas keluarga-keluarga di York, England dalam than 1899, belie berpendapat bahawa mereka yang tergolong dalam kemiskinan utama ialah keluarga-keluarga yang jumlah pendapatannya tidak cukup untuk mendapatkan keperluan minima untuk mengekalkan kecekapan fizi 

Beberapa lama kemudian, Townsend (1979), berdasarkan kepada kajiannya ke atas sumber isirumah dan taraf hidup di United Kingdom, tidak bersetuju dengan definisi ini. Belie memberikan definisi kemiskinan sebagai "kekurangan sumber yang diperlukan untuk membolehkan seseorang berpartisipasi di dalam aktiviti-aktiviti, adat dan pemakanan yang biasanya diterima masyarakat". Sumber itu tidak terhad hanya kepada pendapatan tunai (yang diusaha, tidak diusahakan dan keselamatan sosial). Ia juga merangkumi aset modal (rumah/flat yang diduduki dan dimiliki keluarga dan aset-aset lain selain dari rumah yang diduduki), nilai manfaat pekerjaan (subsidi dan nilai insuran pekerjaan, kemudahan pekerjaan), nilai perkhidmatan sosial awam (terutamanya selain dari wang tunai, termasuk subsidi dan perkhidmatan kerajaan seperti kesihatan dan pendidikan, tetapi tidak termasuk keselamatan sosial), dan pendapatan persendirian dalam bentuk barangan (pengeluaran di rumah, hadiah dan nilai perkhidmatan sokongan peribadi) (Townsend 1979:88-89).

Di Malaysia, perbincangan pertama tentang kemiskinan telah dilakukan dalam than 1923 oleh Za'ba (1923). Belie menarik perhatian kepada keadaan kemiskinan orang Melayu, tetapi tidak mendefinisikan konsep dan pengukur kemiskinan. Yang merasakan perlunya definisi, pengukur dan mencari sebab-sebab kemiskinan ialah Ungku Abdul Aziz (1964; 1965), yang menulis lebih kurang 40 than selepas Za'ba. Ungku Abdul Aziz (1964) mengemukakan tiga sebab utama kemiskinan di kalangan orang Melayu, iaitu pengabaian pemerintah, daya pengeluaran yang rendah dan eksploitasi.

Sebenarnya adalah tidak mudah mendefinisikan konsep kemiskinan. Ada dua sebab utama kenapa hal ini berlaku. Pertama, definisi kemiskinan berbeza-beza mengikut disiplin. Dan kedua, ia berbeza-beza mengikut ruang geografi, masyarakat dan masa. Oleh kerana dua sebab ini, tidak ada satu takrif kemiskinan yang standard yang boleh diterima oleh semua orang atau oleh semua negara pada setiap masa. Dalam kes perbezaan ruang geografi, masyarakat dan masa misalnya, kemiskinan terpaksa dirujuk kepada ketidakcukupan keperluan asas yang berbeza-beza dari individu ke individu dalam masyarakat yang sama dan dari masyarakat ke masyarakat yang lain serta dari semasa ke semasa.

Dalam kes perbedaan disiplin pula, masing-masing mempunyai dimensi definisi yang juga tidak sama. Ahli ekonomi atau neo-ekonomis mendefinisikan kemiskinan daripada perspektif jumlah pendapatan, ahli ekonomi politik daripada perspektif struktural dan akses, ahli sosiologi daripada perspektif stratifikasi sosial, ahli psiko-sosial daripada perspektif keperibadian dan sikap, manakala ahli perubatan daripada perspektif zat atau kalori makanan (Mohd Nor Ghani 1977:217; Kamal Salih 1983/1984:29; Mohd Taib Dora 2000:14).

Selain itu, ahli sejarah dan perbandingan kemiskinan mendefinisikan kemiskinan melalui satu garisan (continuum) kemahuan (want) bermula dari kebuluran, saradiri (subsistence), social coping dan akhir sekali partisipasi sosial (George and Howards 1991:2-11). Ahli teori alam sekitar pula mendefinisikan kemiskinan dari perspektif keadaan sekitar. Bagi mereka, keadaan sekitar yang mundur tidak membantu melahirkan inisiatif dan peluang untuk memperbaiki keadaan seseorang kecuali mereka yang berani berhijrah keluar dari kawasan tersebut. Pemikiran yang dikenali sebagai teori alam sekitar (environmental theory) ini berhubungan pula dengan konsep kebudayaan kemiskinan (culture of poverty) yang diperkenalkan Lewis (1966). Mengikut Lewis (1966), kemiskinan mewakili satu cara hidup yang dicirikan oleh kekurangan partisipasi dan integrasi dengan masyarakat yang lebih besar. Ia hanya terhad kepada berdepan dengan masalah semasa dalam mencari sumber hidup, organisasi sukarela yang minima, keupayaan yang sedikit dalam menangguhkan kegembiraan untuk masa depan, fatalisme, rasa terasing yang kuat, putus asa, atau rasa kebergantungan, rendah diri dan sebagainya. Di samping itu, ada juga penulis yang melihat kemiskinan dari pendekatan saradiri atau pendekatan biologikal (yang menggangap seseorang itu miskin apabila tidak mempunyai cukup keperluan untuk mempertahankan kecekapan fizikal); dari pendekatan ketidaksamaan (yang melihat kemiskinan sebagai berhubungan dengan wujudnya ketidaksamaan di dalam masyarakat); dan dari pendekatan luaran (externality) yang melihat natijah sosial kemiskinan ke atas masyarakat selebihnya (Rein 1970)

Di tengah-tengah kepelbagaian definisi dan perspektif kemiskinan ini, ada dua perkara yang kebanyakan mereka bersetuju. Pertama ialah bahawa kemiskinan itu berkait rapat dengan sindrom `kekurangan' (Sen 1981:22), dan kedua, ia berkait rapat dengan `ketidakupayaan' atau `ketidakmampuan'.

Dalam kes yang pertama, kekurangan-kekurangan itu umpamanya ialah kekurangan makanan, taraf kesihatan yang rendah, pendapatan yang rendah, pengangguran, keadaan perumahan yang tidak selamat, taraf pendidikan yang rendah, tidak menikmati keperluan moden, pekerjaan yang tidak terjamin, sikap hidup yang negatif dan fikiran yang kolot (Osman Rani Hassan dan Abdul Majid Salleh 1988:30-31; Chamhuri Siwar 1988b; Jamilah Ariffin 1994:3). Di samping itu ada juga yang mengkategorikan kekurangan-kekurangan berkenaan ke dalam tiga bahagian. Pertama, kekurangan keupayaan pendapatan; kedua, kekurangan akses kepada kuasa-kuasa sosial seperti kuasa-suara, kuasa-politik, milikan punca-punca keluaran, pendidikan dan sebagainya; dan ketiga, kekurangan keperluan asas seperti perlindungan, pemakanan, pendidikan asas, kesihatan, pekerjaan dan sebagainya (Kamal Salih 1983/1984:28).
                          Dalam mendefinisikan kemiskinan dari sudut kekurangan ini, ada dua pendekatan yang sering digunakan, yakni pertama, perspektif ekonomi dan kedua, perspektif sains sosial. Dari perspektif ekonomi kekurangan-kekurangan tersebut dikaitkan dengan jumlah pendapatan yang diperoleh sama ada secara mutlak atau pun relatif. Kemiskinan mutlak diukur dengan garis kemiskinan manakala kemiskinan relatif diukur dengan membandingkan taraf agihan pendapatan dalam masyarakat keseluruhannya. Dari perspektif sains sosial pula, kekurangan dikaitkan dengan stratifikasi sosial masyarakat kerana golongan miskin adalah golongan yang kekurangan dari segi kelas, status dan kuasa dalam hiraki masyarakat. Kedua-dua pendekatan ini mempunyai penekanan dan penghuraian yang berbeza, tetapi saling berkait dan lengkap melengkapi (Mohd Taib Dora 2000:14).

Masalah kekurangan ini sebenarnya adalah berbentuk relatif. Ia bergantung kepada masa, keadaan dan tahap sosio-ekonomi masyarakat, geografi (tempat) dan sebagainya sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini. Di negara-negara sedang membangun misalnya, kemiskinan lebih cenderung kepada kekurangan mutlak, umpamanya kebuluran, kelaparan, kekurangan zat makanan, pengangguran, pengemisan dan kekurangan keperluan asas. Di negara maju pula, kemiskinan merujuk kepada kekurangan relatif, yakni golongan yang tidak mampu atau tidak berupaya menampung kehidupan yang setaraf dengan golongan lain yang mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dalam masyarakat.

Dalam kes ketidakupayaan atau ketidakmampuan pula, kemiskinan dihubungkan dengan ketidakupayaan untuk menikmati keperluan-keperluan asas yang dianggap paling minima untuk hidup seperti keperluan makanan, perumahan, pakaian, perkhidmatan-perkhidmatan pelajaran, kesihatan, kebajikan dan kemudahan-kemudahan sosial yang lain (INTAN 1980). Ketidakupayaan ini juga berkait rapat dengan kurangnya pendapatan mereka. Dalam hal ini, pendapatan dijadikan pengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep garis (atau paras) kemiskinan. Garis kemiskinan ini diukur dengan menggunakan pendapatan yang dikira boleh menampung taraf hidup minima seseorang atau sesuatu keluarga. Pendekatan yang dipakai dalam mengukur taraf kehidupan minima ini ialah pendekatan keperluan asas yang mengambilkira semua keperluan ekonomi (seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya), keperluan sosial dan politik malah keperluan budaya sekali pun. Sesetengahnya mengukur garis kemiskinan ini dengan menggunakan pertamanya, pendekatan profesional atau pakar (dengan mengambil pendapat profesional atau pakar-pakar ini dalam menentukan kuantiti dan kualiti keperluan untuk orang miskin); kedua, pendekatan kepenggunaan atau perbelanjaan (dengan melihat bagaimana orang-orang ramai menggunakan pendapatan mereka); dan ketiga, pendekatan pendapat awam atau persetujuan sosial (social consensus) (dengan mendefinisi dan mengukur kemiskinan berdasarkan kepada pandangan orang ramai) (Piachaud 1987; George and Howards 1991:11-20).

Dari uraian di atas ternampak bahwa sebenarnya, sama ada kemiskinan yang dilihat dari perspektif kekurangan atau dari perspektif ketidakupayaan, kedua-duanya memakai angkubah-angkubah yang tidak banyak berbeza. Ia berkisar kepada kekurangan dan ketidakupayaan memiliki pendapatan, keperluan asas, akses kepada kuasa sosial dan sikap positif dari perspektif pembangunan, Kedua-duanya pula secara umumnya bersetuju menggunakan dua pendekatan dalam mendefinisikan kemiskinan. Pertama ialah pendekatan mutlak dan kedua ialah pendekatan relatif.

Antara kedua pendekatan ini, umumnya pendekatan mutlaklah yang paling berpengaruh. Dalam pendekatan ini, definisi kemiskinan diukur melalui tahap mutlak keperluan minima (absolute level of minimum needs) seseorang atau sesuatu isirumah. Mereka yang hidup di bawah tahap mutlak keperluan minima ini dianggap sebagai hidup di dalam keadaan miskin. Dalam kes ini, tahap hidup minima dipastikan dalam bentuk tahap pemakanan, pakaian dan sebagainya, dan pendapatan untuk memenuhi ini diambilkira semuanya. Kemiskinan mutlak dikatakan berlaku apabila seseorang atau segolongan ahli masyarakat mempunyai pendapatan yang tidak mencukupi untuk memenuhi keperluan asas mereka (Anand 1983:113; Syed Othman Alhabshi 2000). Ketetapan mutlak ini diukur dengan garis kemiskinan. Di Malaysia, dalam tahun 2000, garis kemiskinan ialah sebanyak RM467 sebulan bagi isi rumah yang mengandungi lima orang ahli keluarga. Sekiranya sesebuah isi rumah mempunyai pendapatan separuh daripada paras kemiskinan mutlak ini, ia dipanggil sebagai kemiskinan tegar (Utusan Malaysia, 9 Ogos 2000).

Namun begitu, konsepsi kemiskinan sebagai `mutlak' begini dikritik kerana keperluan manusia, walau untuk makanan sekali pun, ditentukan oleh masyarakat masing-masing yang berbeza-beza keperluannya dari semasa ke semasa (Townsend 1979:38-39; 59-60). Selain dari itu, pendekatan ini juga mengalami masalah besar dalam menetapkan apakah yang termasuk di dalam keperluan asas minima itu. Sesetengahnya mengatakan makanan, pakaian dan tempat tinggal. Yang lain memasukkan bukan hanya barangan dan perkhidmatan, tetapi juga perkara-perkara bukan-material seperti hak sivil individu, kebebasan dan lain-lain. Kalau pun perkara-perkara ini telah dikenalpasti, jenis-jenisnya masih tetap boleh dipersoalkan lagi. Selain itu, garis kemiskinan yang menjadi pengukur kepada miskin tidaknya seseorang itu juga boleh berubah mengikut perubahan-perubahan tahap harga umum (general price levels) (Syed Othman Alhabshi 1996).

Permasalahan ini membawa kepada lahirnya pendekatan relatif. Kemiskinan dikatakan relatif wujud selagi ada ketidaksamaan di dalam pengagihan pendapatan dan kekayaan (Syed Othman Alhabshi 2000). Pendekatan relatif ini menginterpretasikan kemiskinan dalam hubungan taraf kehidupan masyarakat semasa, dengan mengiktiraf dengan jelas keadaan saling-kebergantungan antara garis kemiskinan dan pengagihan pendapatan keseluruhannya (Anand 1983:113). Selagi wujud jurang pendapatan antara dua individu atau dua kumpulan, yang mempunyai pendapatan yang lebih rendah akan dianggap sebagai miskin manakala yang mempunyai pendapatan lebih tinggi dianggap sebagai kaya. Dalam konteks ini, kemiskinan hanya boleh dihapuskan sekiranya setiap orang atau kumpulan mempunyai pendapatan yang sama. Seseorang yang secara relatifnya miskin boleh menikmati segala kemewahan kehidupan sekiranya perbandingan dibuat di kalangan orang-orang kaya. Begitu juga, seseorang yang kaya atau yang tidak miskin mungkin tidak berupaya memenuhi keperluan asasnya (Syed Othman Alhabshi 1996).