1.Pengertian Sengketa
Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah
pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi, atau pertentangan
antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu –
individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang
sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu
dngan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah
pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum antara keduanya.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan antara
kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan
karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
2.Cara-cara
Penyelesaian Sengketa
Sengketa dapat di selesaikan
dengan berbagai cara dintara nya:
Ø Negosiasi
Pengertian
Negosiasi :
- Proses
yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah (atau tak mengubah) sikap
dan perilaku orang lain.
- Proses
untuk mencapai kesepakatan yang menyangkut kepentingan timbal balik dari
pihak-pihak tertentu dengan sikap, sudut pandang, dan
kepentingan-kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain.
- Negosiasi
adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihal lawan
dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan
kedua pihak.
Pola
Perilaku dalam Negosiasi:
(1) Moving
against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui,
menunjukkan kelemahan pihak lain.
(2) Moving
with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui,
membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
(3) Moving
away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi
pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
(4) Not
moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian
pada “here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan
situasi.
Ketrampilan
Negosiasi:
(1)
Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
(2)
Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang
terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
(3)
Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan
tuntutan di luar perhitungan.
(4)
Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak
lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
(5)
Cepat memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri
dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.
Negosiasi
dan Hiden Agenda:
Dalam
negosiasi tak tertutup kemungkinan masing-masing pihak memiliki hiden agenda.
Hiden
agenda adalah gagasan tersembunyi/ niat terselubung yang tak
diungkapkan (tak eksplisit) tetapi justru hakikatnya merupakan hal yang
sesungguhnya ingin dicapai oleh pihak yang bersangkutan.
Negosiasi
dan Gaya Kerja
(1)
Cara bernegosiasi yang dilakukan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh gaya
kerjanya.
(2)
Kesuksesan bernegosiasi seseorang didukung oleh kecermatannya dalam memahami
gaya kerja dan latar belakang budaya pihak lain.
Fungsi
Informasi dan Lobi dalam Negosiasi
(1)
Informasi memegang peran sangat penting. Pihak yang lebih banyak memiliki
informasi biasanya berada dalam posisi yang lebih menguntungkan.
(2)
Dampak dari gagasan yang disepakati dan yang akan ditawarkan sebaiknya
dipertimbangkan lebih dulu.
(3)
Jika proses negosiasi terhambat karena adanya hiden agenda dari
salah satu/ kedua pihak, maka lobyingdapat dipilih untuk menggali hiden
agenda yang ada sehingga negosiasi dapat berjalan lagi dengan gagasan
yang lebih terbuka.
Ø Mediasi
Pengertian
Mediasi
Mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki
kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses
mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau
konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus,
maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau
penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus
memperoleh persetujuan dari para pihak.
Prosedur
Untuk Mediasi
• Setelah
perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis
hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
• Setelah
pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator
berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
•
Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya
perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian
masing-masing pihak yang berperkara.
• Mediator
bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke
22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.
Jika
terdapat perdamaian, penetapan perdamaian tetap dibuat oleh majelis.
Mediator
Mediator
adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ø Arbitrase
Pengertian
Arbitrase
Istilah
arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti
“kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
1. Asas
kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau
beberapa oramg arbiter.
2. Asas
musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara
musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu
sendiri;
3. Asas
limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui
arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan
dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
4. Asa final
and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan
mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding
atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam
klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan
dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk
menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya
oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil,Tanpa
adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat
penyelisihan perselisihan.
Berdasarkan
pengertian arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1990 diketahui bahwa.
1. Arbitrase
merupakan suatu perjanjian ;
2. Perjajian
arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
3.
Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa
untuk dilaksanakan di luar perdilan umum.
Dalam dunia
bisnis,banya pertimbangan yang melandasi para pelaku bisnis untuk memilih
arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan atau yang
dihadapi.Namun demikian,kadangkala pertimbangan mereka berbeda,baik ditinjau dari
segi teoritis maupun segi empiris atau kenyataan dilapangan.
DASAR
HUKUM ARBITRASE
Secara
singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Demikian
pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih
tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru
sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
B. Pasal
377 HIR
Ketentuan
mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG
yang menyatakan bahwa :
“Jika orang
Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh
juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang
berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan
pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini
adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
C. Pasal
615 s/d 651 RV
Peraturan
mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab
Pertama
Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
-
Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
-
Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Putusan
Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
-
Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
-
Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
D.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah
Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase
dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “ Penyelesaian
perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau
arbitrase tetap diperbolehkan”.
E. Pasal
80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya
undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No.
14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan
yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan
pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah
Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang
Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950
menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua
atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih
dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
F. Pasal
22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal
ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan:
“Jikalau di
antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara
pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya
mengikat kedua belah pihak”.
Pasal 22
ayat (3) UU No. 1/1967 :
“Badan arbitrase
terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal
masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih
bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
G. UU No.
5/1968
yaitu
mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara
Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International
Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and
Nationals of Other States”.
Dengan
undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk
memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing
diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment
Disputes (ICSD) di Washington.
H.
Kepres. No. 34/1981
Pemerintah
Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention
(1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar
Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang
diprakarsaioleh PBB.
I.
Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya
dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah
Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di
keluarkan.
J. UU No.
30/1999
Sebagai
ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
6.Perbandingan antara
Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
1.
Perundingan - > Perundingan merupakan tindakan atau proses menawar
untuk meraih tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima.
2.
Arbitrase -
> Kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan
3.
Ligitasi - > Litigasi adalah
proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan
atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.
Jadi perbandingan diantara ketiganya ini merupakan tahapan dari suatu penyelesaian pertikaian. Tahap pertama terlebih dahulu melakukan perundingan diantara kedua belah pihak yang bertikai, kedua ialah ke jalan Arbitrase ini di gunakan jika kedua belah pihak tidak bisa menyelesaikan pertikaian yang ada oleh sebab itu memerlukan pihak ketiga. Ketiga ialah tahap yang sudah tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan pihak ketiga oleh sebab ini mereka mebutuhkan hukum atau pengadilan untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar