Nama : Dyah Nawang Wulan
NPM : 22210228
Kelas : 4EB09
Mata Kuliah : Etika Profesi Akuntansi
DEFINISI ETIKA BISNIS
Etika didefinisikan sebagai penyelidikan terhadap alam dan
ranah moralitas dimana istilah moralitas dimaksudkan untuk merujuk pada
‘penghakiman’ akan standar dan aturan tata laku moral. Etika juga bisa disebut
sebagai studi filosofi perilaku manusia dengan penekanan pada penentuan apa
yang dianggap salah dan benar.
Dari definisi itu kita bisa mengembangkan sebuah konsep etika
bisnis. Tentu sebagian kita akan setuju bila standar etika yang tinggi
membutuhkan individu yang punya prinsip moral yang kokoh dalam melaksanakannya.
Namun, beberapa aspek khusus harus dipertimbangkan saat menerapkan prinsip
etika ke dalam bisnis.
Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis
yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga
masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma
dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan
sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis
yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang
dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan
peraturan yang berlaku.
Etika bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh
karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk
melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur,
transparan dan sikap yang profesional.
Tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika
bisnis, yaitu :
• Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan
pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya
mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada
masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya
serendah-rendahnya.
• Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan
kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun
tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan
terjadi benturan dengan hak orang lain.
• Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan
yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik
secara perseorangan ataupun secara kelompok.
TUJUAN ETIKA BISNIS
Tujuan etika bisnis adalah menggugah kesadaran moral para
pelaku bisnis dalam menjalankan good business dan tidak melakukan ‘monkey
business’ atau dirty business. Etika bisnis mengajak para pelaku bisnis
mewujudkan citra dan manajemen bisnis yang etis agar bisnis itu pantas dimasuki
oleh semua orang yang mempercayai adanya dimensi etis dalam dunia bisnis. Hal
ini sekaligus menghalau citra buruk dunia bisnis sebagai kegiatan yang kotor,
licik, dan tipu muslihat. Kegiatan bisnis mempunyai implikasi etis dan oleh
karenanya membawa serta tanggung jawab etis bagi pelakunya.
Berbisnis dengan etika adalah menerapkan aturan umum mengenai
etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial,
hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara
umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral
dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan
pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat,
maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita
mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan
cara peka dan toleransi. Dengan kata lain, etika bisnis ada untuk mengontrol
bisnis agar tidak tamak.
ARGUMEN YANG MENDUKUNG
DAN YANG MENENTANG ETIKA BISNIS
Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam
aktivitas bisnis. Bagian ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat
apa yang dapat dikatakan berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke
dalam bisnis.
Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis :
Orang yang terlibat dalam bisnis, kata mereka hendaknya
berfokus pada pencarian keuntungan finansial bisnis mereka dan tidak
membuang-buang energi mereka atau sumber daya perusahaan untuk melakukan
”pekerjaan baik”. Tiga argumen diajukan untuk mendukung perusahaan ini :
Pertama, beberapa berpendapat bahwa di pasar
bebas kompetitif sempurna, pencarian keuntungan dengan sendirinya menekankan
bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang paling menguntungkan
secara sosial. Agar beruntung, masing-masing perusahaan harus memproduksi hanya
apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan harus melakukannya dengan cara
yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat akan sangat beruntung
jika manajer tidak memaksakan nilai-nilai pada bisnis, namun mengabdikan
dirinya pada pencarian keuntungan yang berfokus.
Argumen tersebut menyembunyikan sejumlah asumsi yaitu :
Pertama, sebagian besar industri tidak ”kompetitif secara sempurna”, dan sejauh
sejauh perusahaan tidak harus berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan
keuntungan sekalipun produksi tidak efisien. Kedua, argumen itu mengasumsikan
bahwa langkah manapun yang diambil untuk meningkatkan keuntungan, perlu
menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam kenyataannya ada beberapa cara
untuk meningkatkan keuntungan yang sebenarnya merugikan perusahaan : membiarkan
polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat produksi, penyuapan. Menghindari
pajak, dsb. Ketiga, argumen itu mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apapun
yang diinginkan publik pembeli, perusahaan memproduksi apa yang diinginkan oleh
seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan keinginan sebagian besar anggota
masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena
mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar. Keempat, argumen itu secara
esensial membuat penilaian normatif.
Kedua, Kadang diajukan untuk menunjukan
bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus mengejar keuntungan perusahaan mereka
dan mengabaikan pertimbangan etis, yang oleh Ale C. Michales disebut ”argumen
dari agen yang loyal”. Argumen tersebut secara sederhana adalah sbb :
Sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai
kewajiban untuk melayani majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan
memiliki keakhlian agen).
Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan
kepentingannya sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari
majikannya, manajer mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara
apapun yang akan memajukan kepentingannya.
Argumen agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam
menentukan apakah perintah klien kepada agen masuk akal atau tidak... etika
bisnis atau profesional harus mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun
dinyatakan bahwa agen mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan
yang ilegal atau tidak etis”. Dengan demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi
kepada majikannya, dibatasi oleh batasan-batasan moralitas.
Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi
orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum :
Etika bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum.
Terkadang kita salah memandang hukum dan etika terlihat
identik. Benar bahwa hokum tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga
dituntut standar moral kita. Namun demikian, hukum dan moral tidak selalu
serupa. Beberapa hukum tidak punya kaitan dengan moralitas, bahkan hukum
melanggar standar moral sehingga bertentangan dengan moralitas, seperti hukum
perbudakan yang memperbolehkan kita memperlakukan budak sebagai properti. Jelas
bahwa etika tidak begitu saja mengikuti hukum.
Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan
hukum. Standar Moral kita kadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan
dari kita merasa bahwa standar moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem
hukum sebaliknya, hukum dikritik dan dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar
standar moral.
PELANGGARAN ETIKA
BISNIS
Pelanggaran terhadap etika bisnis selalu dipicu oleh godaan
terhadap keuntungan jangka pendek yang menggiurkan. Pelanggaran terhadap etika
acap baru terbukti dalam jangka waktu yang cukup panjang.
ketidakpedulian perusahaan terhadap etika bisnis dapat
mengakibatkan kehancuran perusahaan dalam waktu yang jauh lebih cepat
dibandingkan dengan kehancuran perusahaan akibat kesalahan dalam penilaian dan
kebijakan bisnis namun tetap memperhatikan etika bisnis.
Akibat buruk dari perilaku yang tidak etis bukan hanya akan
menimpa perusahaan itu sendiri namun juga menimpa masyarakat secara umum.
Seperti dalam kasus subprime mortgage di atas, kerugian juga menimpa banyak
investor di berbagai pasar saham di dunia, akibat berkurangnya nilai aset yang
mereka miliki.
KONSEKUENSI ETIKA
BISNIS
Perilaku bisnis yang tidak etis akan menimbulkan berbagai
dampak negatif. Selain melahirkan persepsi yang buruk di mata masyarakat,
dampak negatif lainnya adalah menurunnya moral karyawan akibat beban psikologis
karena bekerja pada perusahaan yang memiliki citra buruk, terpaksa
dikeluarkannya biaya untuk mengatasi citra buruk yang ada, dan ketidakpercayaan
publik terhadap segala tindakan yang dilakukan perusahaan di masa depan.
Yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa setiap sistem
etika bisnis harus mengakui adanya keterkaitan antara aktivitas bisnis dan
kehidupan di luar bisnis yang akan memengaruhi bukan hanya karyawan, namun juga
teman, keluarga, dan masyarakat secara umum.
Keputusan bisnis juga merupakan bagian dari keputusan dalam kehidupan
secara keseluruhan yang memiliki dampak melewati batas-batas ruang kerja. Jadi
perilaku bisnis yang etis bukan hanya bagian dari norma perusahaan, tetapi juga
norma masyarakat secara keseluruhan.
CONTOH KASUS ETIKA
BISNIS
Beberapa tahun terakhir ada beberapa berita yang
mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan.
1. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten
Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT. Lapindo Brantas.
2. Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan
pestisida berbahaya yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus
Lapindo, bencana memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan
lebih mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan
dan sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah
meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu
klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan
tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran.
3. Kondisi lain adalah adanya kondisi masyarakat Irian yang
masih terbelakang, sementara hasil kekayaan yang dimiliki wilayah tersebut
diambil oleh PT. FREEPORT tanpa meningkatkan kesejahterahaan masyarakat
sekitarnya.
Atas kasus-kasus itu, perusahaan-perusahaan tersebut terkesan
melarikan diri dari tanggung jawab.
4. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian
formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi
dengan bahan yang sudah berbelatung.
Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana
perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan,
dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan
kepada pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan
keuntungan maksimal bagishareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang
berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa
meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel
sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.
Sumber: